Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pemikiran Filsafat Ibnu Rusyd

Pemikiran Filsafat Ibnu Rusyd
Ruang Kelas - Salah satu tokoh pemikiran filsafat Islam yaitu Ibnu Rusyd, kelahiran filsafat islam dilatar belakangi oleh adanya penerjemahan naskah-naskah ilmu filsafat ke dalam bahasa Arab yang telah dilakukan sejak jaman kelasik islam. Usaha ini melahirkan sejumlah filsafat muslim. Dan islam belahan timur yang berpusat di Baghdag, irak lebil dahulu melahirkan filsafat muslim dari pada belahan barat yang berpusat di Cordoba, Spanyol.

Berpikir, merupakan salah satu aspek yang paling penting dalam menemukan ilmu pengetahuan. Karena dengan berfikir manusia bisa menyimak berbagi mesteri dalam semesta ini. Pada waktu dulu di dunia islam banyak para filosof yang menggunakan akalnya dengan kerangka berfikir filsafat, sehingga bisa menghasilkan para ilmuan-ilmuan islam terdahulu. Simak pembahasan berikut Pemikiran Filsafat Ibnu Rusyd.

1. Agama dan Filsafat

Masalah agama dan falsafah atau wahyu dan akal adalah bukan hal yang baru dalam pemikiran islam, hasil pemikiran pemikiran islam tentang hal ini tidak diterima begitu saja oleh sebagian sarjana dan ulama islam. Telah tersebut diatas tentang reaksi Al-Ghazali terhadap pemikiran mereka seraya menyatakan jenis-jenis kekeliruan yang diantaranya dapat digolongkan sebagai pemikiran sesat dan kufur.

Terhadap reaksi dan sanggahan tersebut Ibnu Rusyd tampil membela keabsahan pemikiran mereka serta membenarkan kesesuain ajaran agama dengan  pemikiran falsafah. Ia menjawab semua keberatan imam Ghazali dengan argumen-argumen yang tidak kalah dari al-Ghazali sebelumya.

Menurut Ibnu Rusyd, Syara tidak bertentangan bertentangan dengan filsafat, karena fisafat itu pada hakikatnya tidak lebih dari bernalar tentang alam empiris ini sebagai dalil adanya pencipta. Dalam hal ini syara’pun telah mewajibkan orang untuk mempergunakan akalnya, seperti yang jelas dalam firman Allah : “Apakah mereka tidak memikirkan (bernalar) tentang kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah.” (Al-Araf:185) dan firman Allah suiarah Al-Hasyr: 2 yang artinya: “Hendaklah kamu mengambil Itibar (ibarat) wahai orang-orang yang berakal”.

Bernalar dan ber’itibar hanya dapat dimungkinkan dengan menggunakan Qias akali, karena yang dimaksud dengan I’tibar itui tiadak lain dari mengambil sesuatu yang belum diktahui dari apa yang belum diketahui. Qyas akali merupakan suatu keperluan yang tidak dapat dielakkan. Setiap pemikir wajib mempelajari kaidah-kaidah kias dn dalil serta mempelajari ilmu logika dan falsafah.

Bernalar dengan kaidah yang benar akan membawa kepada kebenaran yang diajarkan agama, karena kebenaran tidak saling bertentangan, tapi saling sesuai dan menunjang. Seperangkat ajaran yang disebut dalam al-Quran dan al-Hadits sebagai sesuatu yang pada lahirnya berbeda dengan filsafat, sehingga difahami bahwa filsafat itu bertentangan dengan agama. Dalam hal ini Ibnu Rusyd menjawab dengan konsep takwil yang lazim digunakan dalam masalah-masalah seperti ini.

Dalam Al-Qur’an ada ayat-ayat yang harus difahami menurut lahirnya, tidak boleh dita’wilkan dan ada juga yang harus dita’wilakan dari pengertian lahiriah. Adapun jika keterangan lahiriahnya sesuai dengan keterangan filsafat, ia wajib diterima menurut adanya. Dan jika tidak, ia harus dita’wilkan. Namun ta’wil itu sendiri tidak sembarang orang dapat melakukannya atau disampaikan kepada siapa saja. Yang dapat melakukan ta’wil itu adalah para filosof atau sebagian mereka, yakni orang-orang yang telah mantap dalam memahami ilmu pengetahuan. Adapun penyampaian ta’wil itu dibatasi pada orang-orang yang sudah yakin, tidak kepada selain mereka yang ampang menjadi kufur.

Agama islam kata Ibn Rusyd tidak mengandung dalam ajarannya hal-hal yang bersifat rahasia, seperti ajaran trinitas dalam agama Kristen. Semua ajarannya dapat dipahami akal karena akal dapat mengetahui segala yang ada. Dari itu, iman dan pengetahuan akali merupakan kesatuan yang tidak bertentangan, karena kebenaran itu, pada hakikatnya adalah satu.

Akan tetapi, dalam agama ada ajaran tentang hal-hal yang ghaib seperti malikat, kebangkitan jasad, sifat-sifat surga dan neraka dan lain-lain sebagainya yang tidak dapat diapahami akal, maka hal-hal yang seperti itu kata Ibn Rusyd merupakan lambing atau simbolm bagi hakikat akali. Dalam hal ini, ia menyetujui pendapat imam al-Ghazali yang mengatakan, wajib kembali kepada petunjuk-petunjuk agama dalam hal-hal yang tidak mampu akal memahaminya.

2. Qadimnya alam

Ibnu rusyd menegaskan bahwa paham qadim-nya alam alam itu bertentangan dengan ajaran  Al-Qur’an. Bahkan sebaliknya, pendapat para teolog bahwa alam di ciptakan Tuhan. Menurut  Ibnu Rusyd dari ayaat-ayat Al-qura’an (Q.S 11: 7;41 :11;21 : 30). Bahwa alam diciptakan tuhan bukanlah dari tiada (al-amam), tapi dari sesuatu yang telah ada. Selain itu juga, iya mengingatkan bahwa paham qadimnya alam tidaklah harus membawa ketidak pengertian bahwa alam itu ada dengan sendirinya atau tidak dijadikan oleh tuhan. Bagi para filsuf muslim, alam itu dikatakan qadim, justu alam itu diciptakan oleh tuhan, yakni diciptakan sejak qadim/azali. Karena diciptakannya sejak kadim, alam itu menjadi, alam itu menjadi qadim pula. Bagaimanapun tuhan, tuhan dan lam tidak sama katena Tuhan adalah qadim yang menciptakan, sedangkan lam adalah qadim yagn dicipta.

Ibnu Rusyd mendasarkan pemikiran tentang alam itu kekal dalam surat ibrahim ayat 47-48 yang artinya sebagi berikut “maka karena itu, jangan sekali-kali kamu mengira bahwa Allah engingkari janji-Nya kepada rasur-rasul-Nya. Sungguh, Allah mahaperkasa dan mempunyai pembalasa (yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikan pula) laingit, dan mereka (manusia) berkumpul (dipadang Mahsyar) menghadap Allah yang Esa, Mahapekasa. (Q.S. Ibrahuim :47-48)

Bahwa langit dan bumi akan diatur dengan bumu dan langit yang lain. Ibnu Rusyd berpegang kepada ayat ini berpendapat bahwa alam ini betul diwujudkan, tetapi di wujudkan terus-menerus dengan kata lain, alam adalah kekal. Dengan demikian, pendapat para filsafat tentang kekelan alam tidaklah bertentangan dengan yat-ayat Al-quran. Apalagi tidak ada ayat yang dengan jelas dan tegas mengatakan bahwa alam diadakan dari tiada.

3. Gambaran kebangkitan di akhirat

Menurut Ibnu Rusyd, filsuf mengakui tentang adanya kebangkitan di akhirat, tetapi mereka berbeda interpretasi mengenai bentuknya. Ada yang mengatakan bahwa yang akan dibangkitkan hanya rohani saja dan ada yang mengatakan jasmani dan rohani. Namun yang pasti, kehidupan di akhirat tidak sama dengan kehidupan didunia ini. Jadi para filsuf tidak berpendapat seperti yang dituduhkan Al-Ghazali bahwa filsuf hanya berpaham bahwa kebangkitan hanya bersifat rohani. Sebaliknya, menurut Ibnu Rusyd justeru Al- Ghazali sendiri tidak konsisten, dalam tahafuth al-falasifah dikatakan bahwa tidak ada ulama yang berpendapat bahwa kebangkitan di akhirat hanya bersifat rohani semata. Akan tetapi dalam bukunya yang lain, Al- Ghazali mengatakan bahwa kaum sufi berpendapat yang akan terjadi di akhirat adalah kebangkitan rohani.

4. Pengetahuan Tuhan

Menurut Ibnu Rusyd, para filsuf tidak mempersoalkan apakah Tuhan mengetahui hal-hal yang bersifat juz’I yang terdapat dialam semesta ini atau tidak mengetahuinya. Persoalannya adalah bagaimana Tuhan mengetahui yang juz’a tersebut. Cara Tuhan berbeda mengetahui yang juz’iyat dengan cara manusia mengetahuinya, pengetahuan manusia kepada juz’iyat merupakan efek dari objek yang telah diketahui, yang tercipta bersamaan dengan terciptanya objek tersebut serta berubah bersama perubahannya. Sedangkan pengetahuan Tuhan merupakan kebalikannya, pengetahuan-Nya merupakan sebab bagi obyek yang diketahui-Nya.

Artinya, karena pengetahuan Tuhan bersifat qadim yakni semenjak azali Tuhan mengetahui yang juz’I tersebut, bahkan sejak sebelum yang juz’I berwujud seperti wujud saat ini. Lebih dari itu, sebenarnya bukan hanya yang juz’i, tetapi juga yang kulliyat Tuhan tidak mengetahuinya seperti pengetahuan manusia. Kulliyat adalah juga efek dari sifat wujud ini, sedangkan pengetahuan Tuhan adalah kebalikan dari itu. Maka secara burhani, ilmu Tuhan sesungguhnya mengatasi kualifikasi yang kulliyat dan juz’iyat tersebut, sebab Tuhan yang mengadakannya.

Jadi, Agama dan filsafat yang dilakukan Ibnu Rusdy melebihi upaya yang dilakukan oleh filosof muslim seperti Al-kindi Al-Farabi dan lain-lain. Dalam rumusannya terlihat, perpaduan utuh kebeneran agama dan filsafat dengan argumentasi yang kokoh dan sepenuhnya berangkat dari ajaran agama islam. Dengan kegunaan itu, Ibnu Rusyd mampu mematahkan “serangan” Al-Gozali dengan cara yang lebih tajam dan jelas.

Maka dari itu terlihat sikap tegas, jujur, terbuka, dan penguasaan serta ilmu keadilan ilmu pengetahuan pada diri Ibnu Rusyd. Dari sikap dan pandangannya pula demikian Ibnu Rusdy terlihat seorang filsuf yang paling dekat pandangan ke agamaannya dengan golongan orthodok. Dan dari riwayat hiupdiketahui bahwa filsafat isllam, tidak ada yang menyamainya dalam kehidupannya dalam bidang fiqih islam.

Dftar Sumber
Supriyadi Dedi, M.Ag. 2009. Filsafat Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
Ensiklopedi Tematis Filsafat islam. Bandung: Mizan