Guna Sejarah Ekstrinsik
RUANGKELAS17 Guna Sejarah ekstrinsik iyalah Sejarah dapat digunakan sebagai liberal education untuk mempersiapkan mahasiswanya supaya mereka siap secara filosofis, tidak saja untuk yang akan belajar dari Jurusan Sejarah. Di Indonesia, sejarah selain diajarkan dari SD, SMP, SMU, dan perguruan tinggi, juga disana sini diajarkan lewat penatara-penataran P-4. Selanjutnya, secara umum sejarah mempunyai fungsi pendidikan, yaitu sebagi pendidikan (1) moral, (2) penalaran, (3) politik, (4) kebijakan, (5) perubahan, (6) masa depan, (7) keindahan, dan (8) ilmu bantu. Selain sebagai pendidikan, sejarah juga berfungsi senagai (9) latar belakang, (10) rujukan, dan (11) bukti.
Sejarah sebagai pendidikan moral
Sejarah yang diajarkan melalui pelajaran kewarganegaraan di sekolah maupun dulu lewat penataran P-4 pada masyarakat mempunyai maksud agar Pancasila menjadi tolak ukur benar salah, baik-buruk, merdeka-terjajah, cinta-benci, dermawan-pelit, serta berani takutdalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan mental, seperti berantai-rantai, rupanya simasukan di sini.
Pergerakan Nasional banyak memberikan contoh tentang benar-salah, baik-buruk, cinta-benci, berhak-tidak, serta merdeka-terjajah. Demikian pula perjuangan selama Revolusi akan mengungkapkan bahwa rakyat di desa ternyata dermawan pada masa masa yang sulit dan para perjuangan kemerdekaan telah melakukan perubahan yang berani. Semua itu, baik para perintis, orang-orag desa, maupun para prajurit adalah exemplary center yang amat diperlukan dalam dunia pendidikan.
Akan tetapi, sejarah tidak boleh bersikap hitam-putih seperti itu. Kalau pendidikan moral harus berbiara benar-benar salah, dan santra hanya tergantung pada imajinasinya pengarang, maka sejarah harus biara dengan fakta. Tanpa fakta, sejarah tidak boleh bersuara. Indonesia-sentrisme tidak menjadikan penghianat tanpa fakta. Benarkan secara historis bahwa semua bupati bangsa terjajah itu baik? Sebaliknya, benarkah semua residen sebagai penjajah itu buruk Perlakuan mereka terhadap pribumi? Hal-hal itulah yang menjadi novel tema Multatural, yang pada abad ke-19 menjadi seorang asisten-residen di Banten. Biarlah menjdai dialog dinamis antara pendidikan moral, sastra dan sejarah.
Searah sebagai pendidikan penalaran
Seseorang yang belajar sejarah tidak akan berpikir monokausal, pikiran yang menyatakan bahwa sebab terjadinya peristiwa itu hanya satu. Misalnya, orang-orang komunis selalu menjadikan ekonomi untuk menerangkan semuanya. Orang-orang Nazi menjanjikan factor ras sebagi penyebab. Mereka itu berpandangan sempit, hanya satu dimensi, suatu penyusutan besar-besaran nilai manusia. Mereka diantaranya memanfaatkan kesadaran manusia. Itu bukan watak mereka yang terdidik dalam sejarah. Sejarah harus berpikir plurikausal, yang menjadi penyebab itu banyak. Dengan demikian ia akan melihat segala sesuatu mempunyai banyak segi. Dengan kata lain, sejarawan harus berpikir secara multidimensi.
Menjadi seorang sejarawan juga memaksa oarang menjadi penyebar. Pereistiwa sejarah itu tidak bisa dipisahkan, atau sebaliknya ditolak, semuanya harus sabar menunggu. Sejarawan memaksa oarng memperhitungkan waktunya. Berpikir secata sejarah berarti berpikir secara perkembangan. Orang harus memperhitungkan masa lalu untuk dapat membicarakan masa kini, dan masa kini untuk masa depan. Sejarah dapat menajdi ilmu manajemen perkembangan
Sejarah tentu saja dapt diperaya atau diperlambat, kalau pernyatannya dipenuhi. Sekalipun demikian, “Mengatur” perkembangan itu sangat sulit, bahkan hamper tidak mungkin, karena perkembangan itu sifatnya multidimensi.
Sejarah sebagai pendidikan politik
Setiap pemerintah selalu melakukan pendidikan kewarganegaran untuk warga negarany. Pada zaman Jepang dengan maksud untuk memobilisasikan penduduk, bukan para penghulu yang sehari-harinya hanya mengurus soal nikah, talak, dan rujuk diharuskan mengikuti latihan. Baru pertama kalai itulah para penghulu, yang kebanyakan terdiri dari kiai, mendapat pendidikan politik secara resmi. Pada Zaman Orde Lama ada indoktrinasi. Indoktrinasi itu dilakukan pada organisasi dan melalui sekolah. Tujuan dari pendidika politik itu adalah dukungan atas politik kekuasaan dengan mendorong perbuatan-perbuatan revolusioner dan menyingkirkan kaum kontrarevolusi. Pada Zaman Orde Baru kita mengenal penataran-penataran, tetapi dengan tujuan lain, yaitu untuk pembangunan. Tentu saja tujuan, intensitas, dan mentri berbeda-beda, tetapi itu dapat dimasukan dalam pendidikan politik. pendidikan semacam itu sudah semestinya dapat utnuk mengetahui idologi Negara serta hak dan kewajiban warga Negara.
Pendidikan politik itu juga dilakukan oleh ormas-ormas, sering memalui training, kadang scara bertingkat. Memang adalah aib kalau naggota suatu ormas tidak dikenakan dengan cita-cita orang-orang yang telah lalu, dan sepak terjang organisasi. Dengan kata lain, kepada setiap kader diperlukan sejarah organisasi. Bahan-bahan itu kebanyakan tertulis sehingga kita dapat memenuhi sejarah pendidikan politik di Indonesia.
Sejarah sebagai pendidikan kebijakan
Sejarah semaam ini diperlalukan oleh semua lembaga penelitian. Untuk menentukan suatu kebijakan, dibutuhkan pandangan tentang lingkungan alam, masyarakat, dan sejarah. Sementara lingkungan alam dapat dipenuhi oleh ilmu-ilmu lingkungan dan masyarakat oleh ekonomi, sosiologi, antropologi, dan politik, maka pandangan berdasar waktu hanya dapat dipenuhi oleh sejarah.
Kita harus belajar dari Negara lain tentang ekonomi perpajakan pada waktu penanaman modal asing. Demikianlah, kita hamper tidak bias membayangkan suatu kebijakan perpajakan diambil tanpa mengetahui sejarah ekonomi, khususnya kebijakan faskal di masa lalu. Bagai mana pajak ditarik pada waktu ada Indonesianisasi atas usaha-usaha asing. Kalau keadan serupa terjadi dimasa kini, bagai mana kebijakan pajak akan dikerjakan?
Akhir-akhir ini ada kegiatan penulisan sejarah di lingkungan Departemen Dalam Negeri. Kita juga tidak bias membayangkan bagai mana perundingan dan peraturan pemerintahan dibuat tanpa mengetahui latar belakang sejarah. Misalnya, orang akan memberi peraturan tentang ekonomi daerah. Kita bias tahu hasilnya andaikata undang-undang tentang otonami dibuat tanpa mengetahui kebijakan serupa dimasa lalu.
Sejarah sebagai pendidikan perubahan
Pendidikan perubahan diperlukan oleh polisi, ormas-oramas, usaha-usaha, bahkan pribadi-pribadi. Dalam dunia yang semain sempit ini, tidak ada yang lebih cepat dari pada perubahan. Kaum politisi yang tidak dapat mengatisipasi gelagat perubahan akan ketinggalan. Untuk melestarikan kepemimpinan, perlu diketahui perubahan apa yang sedang dialmi oleh para pengiku. Dalam hal ini, sosiologi dan antropologi dapat membantu orang. Akan tetapi, sejarah yang salah satu definisinya ialah ilmu tentang perubahan akan banyak membantu. Sepanjang sejarah tidak mempelajari waktu yang terlalu jauh, sejarah seperti relevan dengan perebuhan. Tarulah kita jadi politisi yang mengurusi kota. Kita pasti mencatat bahwa perubahan itu disebabkan oleh dampak kemajuan. Dengan melihat masa lalu kota lain yang lebih besar, kita dapat mengetahui apa yang sedang terjadi.
Ormas-oramas juga perlu menggantikan kepada anggotanya ihwal perlunya pengolahan perubahan dengan maksud agar anggotanya perubahan dengan maksud agar anggotanya itu terhindar dari konservatisme datau radikalisme, dua kecenderungan yang dapat merusak organisasi. Demikian juga halnya dengan badan-badan usaha. Maju-mundurnya perusahan, keberanian atau ketakutan ekspansi sangat tergantung pada kelahiran pimpinannya dalam membaca perubahan.
Untuk pribadi, kiranya membaca autobiografi dan biografi tokoh-tokoh dalam duniannya sangat penting. Autobiografi dan biografi yang apsti bercerita banyak tentang perebuahn, akan memberi inspirasi untuk melangkah.
Sejarah sebagai pendidikan masa depan
Di beberapa universitas Negara maju, seperti Amerika, history of the future sudah dijadikan. Sebagai Negara yang mengalami industrialisasi belakangan, Indonesia mempunyai keuntungan, karena dapat belajar dari Negara industrial dan Negara pascaindustial lebih awal, menurut beberapa pengamat, lingkungan social dan fisiks sudah menjadi masalah. Itu bias menjadi agenda yang serius untuk kita. Dari Negara-negara yang sudah memasuki pascaindustrial, yang diantaranya ditandai dengan semakin banyaknya jaminan sosial dan menghilangnya proletariat, Indonesia dapat belajar dalam pengelolaan masyarakat.
Ternyata kita harus banyak membaca sejarah mereka. Banyak petugas kita yang belajar dari negeri-negeri itu. Terutama bukan karena teknologinya yang lebih maju dapat mudah diserap, tetapi yang lebih penting ialah belajar organisasi sosialnya.
Dari jepang kita dapat belajar bagaimana mempunyai industri besar tanpa mematikan industry kecil. Benar, bahwa kedua Negara mengalami industrialisasi dalam keadan yang berbeda, seperti mereka keduanya sama-sama bangsa Timur dan sama-sama mempunyai tradisi. Bahkah dari Negara seperti Malasyia kita dapat belajar. Dari Malaysia bagaimana dalam waktu yang relative singkat mereka dapat mengangkat ekonomi bumiputra.
Sejarah sebagai pendidikan keindahan
Pernahkah Anda menyaksikan reruntuhan istana di Pulau Penyengat dan membayangakan seolah-olah sedang ada audisi? Demikian pula halnya, pernah terbayangkan bahwa ada serdadu-serdadu belanda di Benteng Makassar? Atau Jakarta waktu masih bernama Batavia, dengan sepeda, taman kota, dan Belanda yang sedang piknik? Surabaya dengan trem kota? Atau, kota solo yang terbelaj oleh jalan dengan kereta api yang tua dan selalu berbunyi neng-neng-neng pada tahun 1960-an, sebelum kereta dihapuskan? Kalau Anda sedang berkunjung ke monument Pertempuran, terbayangkan betapa sulitnya melawan peluru dengan bamboo runcing? Bagaimana perasan Anda kalau sedang membaca buku perang diponorogo, Perang Padri, dan Perang Aceh? Lebih kebelakang lagi, bagaimana Patimura dan Hasanudin berbicara pada hati anda?
Sejarah akan mengajarkan itu. Kita hanya diminta umtuk membuka hati dan perasan. Pengalaman estetik akan datang melalui mata waktu kita ke candi, istana, tarian, kuburan, kota, dan monument. Waktu kita mendengarkan gamelan, juga akan terbayang para bangsawan. Demikian pula keindahan daapt terangsang dalam bacaan.
Kita akan mudah melihat masa lalu Eropa yang jauh, sebab museum-museum dengan mudah dapat kita temukan.
Indonesia masih ketinggalan dalam pendidikan untuk mencintai tanah air lewat keindahan sejarah. Bahkan kita melihat adanya bandalisme terhadap bangunan bersejarah. Bersama sejarah kita belajar jatuh cinta.