Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sejarah Sosial Politik Muslim Minoritas Thailand Pattani


Sejarah Sosial Politik Muslim Minoritas, merupakan pristiwa keberadan kaum muslim di suatu wilayah yang sangat sedikit, yaitu di Pattani Thailand di wilayah Asia Tenggara. Asia Tenggara merupan sebuah wilayah dengan suku beragam dan budaya, Sejak datangnya islam pada abad ke 7 M hingga abad ke 13 M, yang telah di perkenalkan oleh orang-orang arab. Selanjutnya Islam didakwahkan oleh para pendakwah Islam dari Asia selatan. Kebanyakan orang-orang datang ke dataran Asia Tenggara dengan misi berdagang melalui jalur sutra, walaupun Asia Tenggara sebagai jalur pelintasan namun terdapat bukti-bukti Historis yang menunjukan bahwa orang-orang Arab dan Persia telah membentuk koloni di kawasan ini.

Kawasn dunia Islam di Asia Tenggala mempunyai nilai yang berbeda dari etnolingustik, berbagai budaya yang berbeda sehingga disuatu kawasan/Negara mempunyai masyarakat Islam Minoritas beda halnya dengan bumi Nusantara yang mayoritas-nya adalah Agama Islam. Minoritas muslim di Asia Tenggara juga tampak beragam meskipun terdapat setidaknya dua hal yang bisa membantu menjelaskan masyarakat Islam Minoritas itu. Pertama, mereka yang terbentuk akibat migrasi ke negeri dan kawasan yang telah memiliki pemerintahan dan sistem nasional yang kokoh. Termasuk dalam kelompok minoritas ini adalah para pedagang muslim, yang kebanyakan berasal dari anak benua India, Myanmar, Arab, Yunnan, Vietnam, Kampuchea, laos, dan Thailand utara. Kedua, masyarakat muslim penghuni asal yang mendapati diri mereka menjadi minoritas karena perubahan dan perkembanagn geografis dan politik. Kasus paling nyata dalam hal ini terjadi pada masyarakat Singapura pada abad ke-19 dan kaum muslim Pattani di Thailand pada perempat terakhir abad ke-18.[1]

1. Masuk islam di Pattani dan Perkembangan Masyarakat Pattani

Dalam kasus Minoritas Islam Patani, Islam diperkirakan masuk ke kawasan Pattani, Thailand selatan pada abad X atau XI lewat jalur perdagangan. Penyebaran Islam dilakukan para guru sufi pengembara dan pedagang yang berasal dari wilayah Arab dan pesisir India. Bukti yang menguatkan pendapat ini adalah ditemukannya sebuah batu nisan yang bertuliskan arab di dekat kampung Kampung Teluk Cik Munah, Pekan pahang yang bertarikh 1028 M. orang-orang Siam (Thai) mengenal orang-orang ini dengan sebutan Khei atau Khaek yang secara bahasa berarti pendatang atau orang yang datang menumpang.[2]

Pada masa jayanya di daerah ini terdapat kerajaan Islam Melayu yang maju danmenjadi salah satu pusat perdagangan Asia Tenggara. Kerajaan ini dikenal dengan Negeri Patani besar mencakup berbagai wilayah seperti kawasan pesisir timur Semenanjung Malaka, Teluk Siam, dan kawasan laut China Selatan seperti narathiwat (Teluban), Yala (Jalor) dan sebagian Senggora (Songkla, sebayor dan Tibor).

Dilihat dari aspek Sejarah, etnis, bahasa dan agama etnis “Melayu Pattani” berbeda dengan penduduk mayoritsa penduduk Thailan. Mayoritas penduduk Thailan merupakan etnis Indiocona, yaitu suku bangsa Siam atau lebih di kenal denan sebutan “Thai”. Mereka kebanyakan menganut Agama Budah Theraveda yang di sebut secara turun-temurun dalam waktu yang lama.[3]

Keberadaan Muslim Melayu di wilayah Pattani tidak dapat dilepaskan dari sejarah masuknya Islam di kawasan ini. Secara umum, Islam masuk ke wilayah Thailand dari berbagai arah; melalui Burma (Myanmar), Kamboja, China, India, Nusantara, Persia, dan Yaman[4]. Pattani pada awalnya adalah sebuah Kesultanan dengan wilayah kekuasaannya meliputi: Pattani, Yala, Narathiwat, Songkhla, Kelantan, Trengganu, hingga Petaling. Keberadaan Pattani menjadi penting dalam proses islamisasi, karena menjadi satu satunya kota pelabuhan dan pusat perdagangan Islam di perairan laut Cina Selatan masa itu.[5] Kerajaan ini dianggap sebagai kelanjutan dari Kerajaan Langkasuka yang beragama Hindu-Buddha yang berada di wilayah timur Semenanjung Malaya antara Senggora (Songkhla) dan Kelantan. Ibukota Langkasuka diyakini berada di Yarang, yaitu wilayah Pattani sekarang.[6] Masuknya Islam ke wilayah Pattani mengubah kultur masyarakat termasuk kultur politiknya. Hal ini terbukti dengan penggunaan istilah untuk nama kerajaan yang didirikan, yaitu Kesultanan Pattani.

Majunya perdagangan di wilayah ini berakibat positif terhadap perkembangan Kesultanan Pattani. Secara geografis, Pattani berada di sentral dua jalur lalu lintas perdagangan, yaitu antara Melayu dan negeri Asia Timur di satu sisi, dan antara Selat Malaka dan Laut Sulu di sisi yang lain. Jalur perdagangan ini menghubungkan Arab, India, dan benua Cina. Kemajuan Pattani menjadikannya sebagai satu satunya kerajaan yang memiliki wilayah yang cukup luas di semenanjung laut Cina Selatan.[7] Keberadaannya menjadi titik kunci bagi proses islamisasi Melayu. Para pedagang islam yang singgah di wilayah ini berinteraksi langsung dengan penduduk Pattani. Dalam catatan Teeuw sebagaimana dikutip Paulus, perkembangan Islam di Pattani jauh lebih dulu daripada di Malaka. Para pedagang yang memiliki kontribusi besar dalam proses islamisasi Melayu adalah pedagang Islam Cina, Arab, dan India.

Kesultanan Pattani muncul sebagai kerajaan yang memiliki kekuatan politik sekaligus ekonomi. Wilayah Johor, Pahang, dan Kelantan diintegrasikan ke dalam kekuasaannya. Zaman keemasan Pattani berlangsung pada masa pemerintahan empat orang ratu, yaitu Ratu Hijau (1584-1616), Ratu Biru (1616-1624), Ratu Ungu (1624-1635) dan Ratu Kuning (1635-1651). Pada masa pemerintahan mereka, Pattani mencapai kestabilan politik dan ekonomi, sehingga menjadi kerajaan yang makmur dan dihormati oleh negeri negeri seberang, termasuk Kerajaan Ayudhya (asal usul Thailand sekarang).

Dalam aspek kepercayaan, masyarakat Muslim Melayu Pattani memeiliki keyakinan sinkretis. Hal ini terutama terjadi pada kelompok Islam tradisional. Keyakinan mereka merupakan perpaduan antara ajaran Islam dengan kepercayaan lokal yang berasal dari masa pra Islam, yaitu tradisi Hindu dan agama lokal Melayu.[8] Dalam kehidupan Masyarakat Pattani Pemerintah Thailand seringkali menyebut orang Muslim pattani sebagai Islam Thai sebuah istilah yang sebenarnya kurang tepat karena mereka lebih dekat dengan etnis dan budaya melayu daripada Thailand. Mereka adalah kelompok etnik yang terpisah dari induknya dunia melayu muslim Asia Tenggara.[9]

Dalam bidang pendidikan, masyarakat Muslim Melayu Pattani mengirimkan anaknya ke pondok atau madrasah. Lembaga pendidikan ini memiliki peran penting dalam penjagaan identitas keislaman sekaligus identitas etnis Melayu. Struktur pendidikan dimulai dari Sekolah Anubhan, Raudha, Tadikayang merupakan tingkat terendah dalam pendidikan Islam. Sekolah ini dilaksanakan di masjid pada sore hari. Pesertanya adalah anak anak yang berusia antara 3-16 tahun. Pada tingkatan ini tidak ada kurikulum yang terstandar, semua tergantung pada lembaga atau masyarakat yang menyelenggarakannya. Bahasa yang digunakan di sekolah ini adalah bahasa Jawi.

Lulus dari sekolah ini mereka melanjutkan ke pondok untuk mendapatkan pelajaran agama dan matematika dasar. Di masyarakat Pattani, pondok memiliki peran strategis dalam transmisi pengetahuan agama. Kedudukannya sebagai center of gravity yang berfungsi menjadi benteng pertahanan bagi identitas Muslim Melayu dari sisi bahasa, sejarah, dan budaya. Kurikulum di pondok meliputi: membaca (Melayu dan Arab), menulis (Melayu dan Arab), agama, dan menghafal al-Qur’an. Kurikulum pelajaran agama meliputi: tauhid, syari’ah, fikih, usul fikih, akhlak, tarikh, nahu saraf, tasawuf, dan falak.[10] Pada tingkatan ini bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Arab. Pimpinan pondok pesantren disebut dengan Tok Guru, yang dalam kesehariannya dibantu oleh Taliyat. Para Taliyat ini menjadi pemimpin siswa dan memimpin halaqah dalam pembelajaran agama. Mereka inilah yang diberi kesempatan pertama untuk melanjutkan pendidikan agama ke Mekkah.

2. Sosial Politik Patani dan Perlawanan terhadap Kerajan Thailand (Siam)

Dalam tatanan sosial, muslimin Thailand mendapatkan julukan yang kurang enak untuk didengar. Yaitu khaek yang berarti orang luar, pendatang atau tamu. Meskipun pada mulanya khaekmerupakan term untuk makro-etnis bagi orang selain Thai tapi lama kelamaan term tersebut dipakai pemerintah untuk mendeskripsikan kaum melayu-muslim diselatan Thailand.[11]

Hingga istilah Thai-Islam dibuat pada 1940-an. Akan tetapi istilah ini menimblkan kontradiksi karena istilah “Thai” merupakan sinonim dari kata “Budha” sedangkan “Islam” identik dengan kaum muslim melayu pada waktu itu. Jadi bagaimana mungkin seseorang menjadi budha dan muslim pada satu waktu? Maka dari itu kaum muslim melayu lebih suka dipanggil Malay-Islam,

‘The problem is that, while the word “Thai” is synonymous with “Buddhism”, for the Malay-Muslims the word “Muslim” also means “Malay.” So how can they be both “Thai” and “Islam”? The category of “Thai-Islam”, therefore, has been regarded as insensitive, if not an insult, on the part of the Thai government by the Muslims, especially those in the South. They prefer to be called by the historically and politically correct term Malay-Muslims’ [12]

Dari problem tersebut, islam Pattani di bagi menjadi 2 (dua) Kelempok diantaranya :

Pertama
, assimilated group. Atau golongan yang terasimilasi atau berbaur dengan kaum mayoritas yaitu agama masyarakat Thai-Budha pada segala bidang tatanan kehidupan hanya saja tidak sampai pada masalah keagamaan.

Kedua, unassimilated group. Atau golongan yang tidak berbaur namun menyendiri di Thailand bagian selatan. Yang masih menunjukkan kultur melayu-Islam pada nama, bahasa dan adat. Golongan ini bertempat tinggal di daerah Yala, Narathiwat dan Pattani. Kecuali daerah Satun yang sudah terasimilasi dengan kelompok mayoritas Thai.[13]

Berdasarkan pada tulisan sejarah politik Islam Asia Tenggara, proses awal kasus Thailand (Siam pada wktu itu) mencengkram wilayah pattani adalah terjadi pada tahun 1786 ketika tentara Thailand meneklukan tentara petani dan menguasi seruruh wilayah kerajaan Islam. Sebagai akibat dari kekalahannya ini, bangsa petani menerima hukumnnya perang dari kerajan Thailand (Siam) berupa kekejaman dan penganiayan. Sir Francis Light yang baru tiba di pulau Pinang, menulis surat tanggal 12 September 1786 kepada Gubernur Jendral Lord Conrnwallis dari India melaporkan kekejaman tentara Thailand (Siam) yang menjelajah patani. Menurut laporan itu, kaum lelaki, perempuan tua dan anak-anak yang tidak berdosa telah disiksa, diikat dan dibaringkan di tanah lapngan yang luas dan selanjutnya di injak-injak oleh gajah sampai mati. Menurut catatan pada thaun 1786, kekejaman ini menyebabkan 15.000 dari 90.000 penduduk patani mengungsi di sepanjang sungai Muda, Kedah semenanjung Melayu.[14]

Maka dengan demikian wilayah pattani berada di bawah pemerintahan Bangkok. Meskipun pemerintahan Bangkok telah menempatkan Gubernut Ligor untuk mengawasi kerajan Islam Patani, namun gerakan perlawanan terhadap pnedudukan Kerajan Thailand terus berlanjut. Pada tahun 1789 Raja Patani, Tengku Lamidin, mengirim surat kepada raja Gia Long (di Vietnam Utara) yang bernama Ong Chieng Su Annam, untuk bersepakat menyerang negeri Siam. Pihak Gio Long disepakati untuk menyerang dari arah utara, sedangan petani akan menyerang dari arah selatan. Namun malang, Raja Gio Long dapat di bajak raja Thailan, Rama I, untuk membuka rahasia kesepakatan itu. Setelah mengetahui rasia kesepakatan tersebut, Rama I memerintah Phraya Kalahum untuk menyerag patani. Selama tiga tahun peperangan berlangsung, yang akhirnya di mengkan pasukan Phraya Kalahum pada tahun 1973. Selanjutnya Kerajan Siam mengangkat Datuk pangkalan dnegan gelar Luang mnggantikan Tengku Lamidin sebagi raja Patani. Datuk Pangkalan memerintah dari tahun 1793-1810. Pada tahun 1808 Datuk Pngkalan memberontak dan mgusir gubernut Ligor Chao Pharya Luang Nai Sitthi, pertemputan hebat anrata pasukan pati dan Siam terjadi di daerah Jering, Geresik dan Patani Buruh Laguin.[15] Setelah itu Pihak siam tidak bisa membendung perlawan Rakyat Pattani yang saat-saat tertentu meledak dan mengancam pemerintah Thailand di Selatan. Maka raja Rama II, Phra Puddha Lert-Lah (1809-1827) membagi wilayah Pattani menjdai tujuh negeri pattani.

Dimana masuknya pengaruh pengaruh barat pada awal abad ke-19 telah merubah Siam menjadi modern pada berbagai bidang, ekonomi, politik dan pendidikan. After years under colonial rule-both direct and indirect in the case of Siam or Thailand-the society and politics of the region had been shaped largely by modernization, including an invention of a centralized administrative government, a modern education system and a modern economy.[16]

Hal serupa telah memberi pengaruh pada generasi muda muslim Thailand selatan yang selama ini dalam kekuasaan Thailand dan menumbuhkan semangat nasionalisme dalam diri mereka untuk menjadi merdeka dan berdiri sendiri dari kekangan Thailand, Thus, it can be said that the Western impact that drove Siam to secure its independence and modernization also gave the Malay-Muslim states an opportunity to assert its own autonomous state and religion vis-à-vis the modernized Thai nation-state.

Dimulailah perjuangan utuk menuntut kemerdekaan bagi wilayah muslim Thailand pattani dan empat wilayah lainnya di Thailand selatan. Kesempatan untuk merdeka semakin terbuka lebar ketika terjadi perang pasifik dengan Thailand dan Jepang melawan Britain dan Amerika. Setelah kekalahan Britain di melayu dan kekalahan Amerika di Hawai, pada 21 Disember 1941, Pibul Songgram berpihak kepada Jepang. Sebagai imbalan, Jepang berjanji akan menyerahkan wilayah melayu utara, Kelantan, Kedah, Trengganu dan Perlis Kepada Thailand.[17]

Pada 25 januari 1941, Thailand mengobarkan perang melawan Britain, akan tetapi berbeda dengan Amerika yang membiarkan kedua negara tersebut bertikai. Hal ini dimanfaatkan oleh Pattani dan wilayah muslim Thailand selatan untuk memanfaatkan Britain membantu mereka merdeka dari belenggu Thailand dan dipimpin oleh tengku Muhyidin. Akan tetapi Britain mempunyai kehendak lain dibalik perseteruannya dengan Thailand sehingga tengku Muhyidin sadar bahwasanya dirinya telah menajadi mangsa percaturan politik Britain-Thailand.

Kegagalan tengku Muhyidin dalam membebaskan wilayah selatan Thailand telah menggalakkan ulama muslim untuk turun berjuang di wilayah terbuka. Akan tetapi mereka sadar bahwa keadaan politik yang ada menjadikan mereka sulit untuk mendapatkan kemerdekaan. Lebih lebih ketika Britain dan Amerika mengakui kedaulatan Thailand pada 1 janurai 1941. Hal ini menyisakan satu solusi bagi umat muslim di Thailand selatan, yaitu menuntut otonomi penuh bagi empat wilayah Thailand selatan dari penguasa thailand.[18]

Kegagalan merebut kemerdekaan bagi wilalyah muslim di Thailand selatan telah memunculkan gerakan gerakan baru yang lebih besar. Pada tahun 1950 dan seterusnya hubungan melayu muslim Thailand selatan dengan penguasa Thailand diliputi ketidakpercayaan, kecurigaan dan kesalahpahaman yang berlarut larut. Hal itu dikarenakan ketidak setujuan komunitas muslim pada aturan aturan dan proses asimilasi yang dilakukan oleh pemerintah Thailand kepada komunitas muslim,

“From the late 1950s to the present, relations between the Malay-Muslims of the South and Thai authorities have been relatively the same. Mistrust, patronizing and misunderstanding on the part of the government officials are still prevalent. Fear, resentment and disapproving of Thai rule and power are also rampant among the Malay-Muslims. Similar policies aimed at integration and assimilation of the Muslims are still being prescribed to the local offices.” [19]

Dinamika politik, keamanan dan sosial telah menumbuhkan gerakan di tingkat lokal di Thailand Selatan, khususnya di tiga provinsi: Narathiwat, Yala dan Pattani. Diantaranya adalah Barisan Revolusi Nasional (BRN), Pattani United Liberation Organisation (PULO), dan Gerakan Mujahidin Islam Pattani (GMIP). BRN menuntut pemisahan diri dengan menggunakan ideologi sosialis, dan bekerjasama dengan Partai Komunis Melayu di perbatasan pada tahun 1950an. Sementara PULO adalah gerakan separatis yang menuntut wilayah Patani –sebutan untuk tiga provinsi Narathiwat, Yala dan Pattani- sebagai daerah yang merdeka. Mereka pada tuntutan awal memilih untuk bergabung dengan Malaysia. Wakil Presiden PULO dipengasingan, Haji Lukman Bin Lima, mengumandangkan ’Jihad’ sebagai gerakan melawan ’Pemerintah Kafir Thai-Buddhis’, yang ditujukan untuk mengakhiri dominasi mereka atas wilayah Melayu Islam Patani. GMIP memiliki identitas keislaman yang lebih kuat. Meskipun semua menuntut kemerdekaan, tetapi masing-masing memiliki karakter dan identitas gerakan sendiri. Pada beberapa tahun setelah didirikan, mereka mencoba disatukan dalam satu atap, dengan menggunakan istilah melayu yaitu Bersatu. Tetapi karena sejak awal didirikan dengan ideologi yang berbeda, Bersatu juga tidak efektif untuk menyatukan seluruh gerakan.[20]

Dari gerakan-gerakan separatisme tersebut ada Ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya gerakan separatisme di Thailand Selatan. Namun, hal yang paling menonjol adalah akibat masalah budaya. Thailand tidak memberikan pengakuan yang tepat dan sesuai kepada kebudayaan Melayu dan Agama Islam yang dominan dianut oleh masyarakat di Pattani Raya. Parahnya lagi, mereka bahkan berusaha memaksakan kebudayaan mereka ke masyarakat Pattani. Tentu, mereka akhirnya memutuskan untuk melakukan perlawanan yang berlangsung sampai saat ini.

Catatab Kaki
-------------------------------------------------------------
[1] Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jilid 5 Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm. 457.
[2] Ibid, hlm 458.
[3] Asep Ahmad HIdayat, Setudi Kawasan Muslim Minoritas Asia Tenggara. Bandung. Pustaka Rahmat. Hlm 31
[4] Imtiyaz Yusuf. 2009. “Ethnoreligious and Political Dimensions of The Southern Thailand Conflict”, dalam Amit Pandya and Ellen Laipson (eds), Islam and Politics, Renewal and Resistance in Muslim World. Washington DC: The Henry L. Stimson Cente hal. 44
[5] Abdullah, Auni bin Haji. 2001. Islam dan Perdagangan dalam Sejarah Alam Melayu. Malaysia: Darulfikir SDN BHO. Hal. 298
[6] Paulus Rudolf Yulianto. 2004. “Integration of Pattani Malays: a Geopolitical Change Perpective”, dalam Multiculturalism, Separatism and National Building in Thailand. Indonesia: Pusat Penelitian Sumber Daya Nasional, 2004. Hal. 35
[7] Ibid,. Hal. 4
[8] Sarkar, Diptendu. 2014. “Religious Minority, Education and Separatism in South Thailand”, paper presented at “the 12th International Conference on Thai Studies ” University of Sydney, April, 2224, 2014. Hal.6
[9] Surin Pitsuwan, Islam di Muangthai Nasionalisme Melayu Masyarakat Patan, (Jakarta: LP3ES, 1989), hlm. 3.
[10] Sarkar, Diptendu. 2014. “Religious Minority, Education and Separatism in South Thailand”, paper presented at “the 12th International Conference on Thai Studies ” University of Sydney, April, 2224, 2014. Hal. 6
[11] Thanet Aphornsuvan, History and Politics of The Muslim in Thailand, (Thammasat University: 2003), hal 5. Yang di kutip oleh Faruq Junaidi. https://artikelilmiah.wordpress.com/2009/01/15/minoritas-muslim-thailand-selatan/ di Akses 2/3/2017
[12] Ibid Hal 5
[13] Ibid Hal 5
[14] Asep Achmad Hidayat op.cit hal 12
[15] Asep Achmad Hidayat op.cit hal 37
[16] Thanet Aphornsuvan, History and Politics of The Muslim in Thailand, (Thammasat University: 2003), hal 5. Yang di kutip oleh Faruq Junaidi. https://artikelilmiah.wordpress.com/2009/01/15/minoritas-muslim-thailand-selatan/ di Akses 2/3/2017
[17] https://artikelilmiah.wordpress.com/2009/01/15/minoritas-muslim-thailand-selatan/ di Akses 2/3/2017
[18] Perjuangan ini diteruskan oleh Haji Abdul Kadir yang mempunyai kedekatan politik dengan penasihat muslim Thailand yang mempunyai hubungan langsung dengan perdana menteri Pridi Banamyong. Akan tetapi, belum berbuah perjuangan Abdul kadir hingga Pridi Banamyong mengundurkan diri karena dituduh terlibat dalam kematian raja Ananda Mahidol. Lihat Nik Anuar Nik Mahmud, op.cit., hal 34 . Yang di kutip oleh Faruq Junaidi. https://artikelilmiah.wordpress.com/2009/01/15/minoritas-muslim-thailand-selatan/ di Akses 2/3/2017
[19] Thanet, op.cit., hal. 27
[20] https://artikelilmiah.wordpress.com/2009/01/15/minoritas-muslim-thailand-selatan/ di Akses 2/3/20