Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pristiwa Tahkim pada Masa Ali bin abi Thalib

Masa Kekhalifahan ialah masa pemerintahan yang di pegang oleh ke empat sahabat nabi yaitu, Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Khalifah Umar ibn Al-Khaththab, Khalifah Utsman bin Affan, dan Khalifah Ali bin Abu Thalib. Keempat Khalifah tersebut sebgai pimpinan umat Muslim, ketika masa Khalifah yang terakhir yaitu Ali bin Abu Thalib ada sebuah priestiwa yang menaik yaitu sebuah Pristiwa Tahkim, pristiwa konfik politik antara Ali Ibn Abu Thalib dengan Muawiyah Ibn Abi Sufyan. Lalu bagimana pristiwa itu terjadi?. Simak penjelasan di bwah ini’’ Konfik politik antara Ali Ibn Abu Thalib dengan Muawiyah ibn Abi Sufyan diakhiri dengan tahkim. Dari pihak Ali diutus seorang ulama yang terkenal sangat jujur dan tidak “cerdik” dalam politik, yaitu Abu Musa Al-Asy’ari. Sebaliknya, dari pihak Muawiyah diutus orang yang sangat “cerdik” dalam berpolitik yaitu Amr bin Ash.

Dalam tahkim tersebut, pihak Ali Ibn Abi Thalib dirugikan oleh pihak Muawiyah Ibn Abi Sufyan karena kecerdasan Amar Ibn Ash yang terdapat mengalahkan Abu Musa Al-Asy’ari. Pendukung Ali Ibn Abi Thalib, kemudian terpecah menjadi dua, yaitu kelompok pertama adalah mereka yang secara terpaksa menghadapi hasil tahkim dan mereka tetap setia kepada Ali bin Abi Thalib. Sedangkan yang kedua adalah kelompok yang menolak hasil tahkim dan kecewa terhadap kepemimpinan Ali ibn Abu Thalib yang merukan kerakan perlawanan terhadap semua pihak yang terlibat dalam tahkim, termasuk Ali bin Abi Thalib.

Ketika itu ada Khawarij sebagai oposisi terhadap kekuasaan yang ada, mereka mengeluarkan beberapa statemen yang menuduh orang-orang terlibat tahkim sebagi orang-orang kafir. Khawarij berpendapat bahwa Utsman Ibn Affan telah menyelewangkan dari ajaran Islam. Dengan demikian pula, Ali Ibn Abi Thalib juga telah menyelwengkan dari ajaran Islam karna melakukan tahkim. Utsman Ibn Affan dan Ali Ibn Abi Thalib dalam padangan Khawarij, yaitu murtad dan telah kafir. Di samping dua khalifah umat Islam di atas, politisi lain yang dipandang kafir oleh Khawarij adalah Muawiyah, Amar Ibn Ash, Abu Musa Al-Asy’ari, dan semua orang menerima tahkim.

Padakenyatannya Khawarij nampaknya bukan berada pada jalur politik lagi setelah statemennya itu, melainkan berada pada jalur teologi atau kalam yang merupakan fondasi bagi keberagaman umat Islam.Khawarij dinilai keluar dari jalur politik karena menilai kafir terhadap orang-orang yang telah terlibat dan menerima tahkim.  Kafir dan mukminnya seseorang, paling tidak, menurut Harun Nasution, bikan wilayah politik, tetapi wilayah kalam atau teologi. 

Di samping penentang, Ali Ibn abi Thalib memiliki pendukung yang sangat fanatic dan setia kepadanya. Denga adanya oposisi terhadap pemerintah Ali Ibn Abi Thalib, kesetian mereka terhadap Ali semakin bertambah, apalagi setelah Ali Ibn Abi Athalib wafat dibunuh oleh Khawarij. Mereka yang fanatik terhadap Ali Ibn abi Thalib dikenal dalam sejarah sebagai kelompok syi’ah.  

Pristiwa tahkim tersebut menyebabkan pengikut Ali tidak setuju, dan mereka keluar dari barisan Ali, kemudian mereka menjadikan Nahrawanb sebagai markasnya serta terus-menerus merongrong pemerintahan Ali. Golongan yang keluar dari barisan Ali tersebut bisa disebut sebagai Khawarij. Kerepotan khalifah dalam menyelesaikan kaum Khawarij ini digunakan Muawiyah untuk merebut mesir. Padahal Mesir dapt digunakan sebagi sumber kemakmuran dan ekonomi dari pihak Ali.

Dengan terjadinya berbagai pemberontakan dan keluarnya sebagaian pendukung Ali, banyak pengikut ali gugur dan juga berkurang hingga hingnya sumber ekonomi dari Mesir karena dikuasai oleh Muawiyah menjadikan kharisma Khalifah menurun, sementara Muawiyah makin hari makin menambah kekuatannya. Hal tersebut memaksa Khalifah ali menyetujui perdamayan dengan Muawiyah.

Penyelesayain melalui kompromi dengan Muawiyah itu merupakan kegagalan bagi Ali. berbagai kerusuhan yang dihadapi oleh Ali sejak penobatannya sebagai Khalifah, terutama disebabkan oleh kegagalan menindas pemberontakan Muawiyah. Pemberontakan yang hebat dari Thalhah dan Zubair memperlemah kedudukan Ali dan memperkuat kekuasan Muawiyah. Pemberontakan-pemberontakan terjadi pula di Bashrah, Mesir, dan Persia untuk mendapat kemerdekaan. Tugas Khalifah Ali sangat berat utnuk memulihkan ketertiban di dalam imperium, terutama kaum Khawarij sangat memperlemah kekuatannya dan terus menerus menyibukannya. 

Begitu juga dengna Jumlah manusia, keuangan, dan sumber-sumber kekayaan Muawiyah jauh lebih kuat dibandingkan dengan Khalifah Ali. Begitu juga dengan kekayannya yang di miliki oleh Muawiyah lebih besar ketimbang dengan Khalifan Ali. Ali hanya seorang jendral dan seorang prajurit yang gagah berani, sedangkan Muawiyah adalah seorang diplomat yang licik dan seorang politisi yang pintar. Dia memainka kelicikannya apabila keberanian berarung tidak berhasil. Dengan cerdik, memanfaatkan pembunuhan Khalifah Utsman untuk menjatuhkan nama dan memperlemah Khalifah Ali dan membantu rencanya. Karena dia sendiri orang yang paling cerdik dan banyak akal pada saat itu, Muawiyah menjalani persahabatan denga Amar, yang juga orang yang palik cerdik dan banyak akal ketika itu. Karna gagal dalam menggunakan pedang, Muawiyah dan sekuatnya menipu dan mengalahkan Kalifah Ali dengan permainan kecerdikan dan kelicikan di dalam perang Siffin.

Penyelesaian kompromi Ali dan Muawiyah tidak disuaki oleh kaum perusuh karna hal itu membebaskan Kalifah untuk memusatkan perhatinnya pada tugas menghukum mereka. Kaum Khawarij merencanakan untuk membunuh Ali; Muawiyah dan Amar memilih seorang khalifah yang sehaluan dengan mereka, yang bebas dipilih dari seluruh Umat Islam. Karena itu, Abdurrahman, pengikut kaum Hawarij, memberikan pukulan yang sangat hebat kepada Ali sewaktu dia akan adzan di masjid. Pukulan itu fatal dan Khalifah Ali wafat pada tanggal 17 Ramadhan 40 H., bertepatan pada tahun 661 M.